http://portalgresik.com/2012/02/20/puluhan-psk-betiring-dites-hivaids/ |
Pangkalan
truk merupakan salah satu tempat penyebaran HIV/AIDS yang paling rawan.
Bagaimana tidak, di sekitar pangkalan truk itu, sebagian besar dikelilingi oleh
lokalisasi terselubung dalam bentuk warung remang-remang atau panti-panti pijat
yang biasa digunakan untuk transaksi seks. Pelaku transaksi adalah para wanita
pekerja seks komersial (PSK) yang tinggal di dalam warung remang-remang atau
panti-panti pijat itu. Sementara pelanggannya adalah para sopir truk atau warga
sekitar pangkalan yang merindukan belaian para PSK yang mangkal di pangkalan
truk itu.
Di
sepanjang jalan Pantura, pangkalan truk begitu banyak tersebar. Mulai dari ujung barat hingga
ujung timur Pulau Jawa, berjejer begitu banyak pangkalan truk yang hampir
semuanya menawarkan “jasa” dalam bentuk transaksi esek-esek. Dalam lingkup
kecil, misalnya, di sepanjang kota Pekalongan, Batang, hingga Kendal, terjejer
belasan pangkalan truk yang di dalamnya menyediakan transaksi seks. Belum lagi
di jalur selatan Pulau Jawa atau di kota-kota lain di Sumatera, Kalimantan,
hingga Sulawesi.
Pangkalan
truk memang sangat mendukung untuk dijadikan sebagai lahan bisnis seksual.
Kondisi pangkalan yang pada umumnya setengah tertutup dengan nuansa yang gelap,
menjadikan transaksi seksual menjadi lebih “aman” untuk dilakukan. Terlebih
lagi, dalam pangkalan truk itu banyak beristirahat para sopir truk yang tengah
menempuh perjalanan jauh. Mereka itu banyak yang mampir ke warung remang-remang
atau panti pijat sekadar untuk melepas lelah atau memang berniat untuk
menyalurkan hasrat kelelakiannya.
Namun
begitu, pada dasarnya masyarakat umum dan pemerintah daerah setempat sama
sekali tidak menutup mata dengan keberadaan lokalisasi dalam pangkalan truk
itu. Semuanya bukan lagi menjadi sebuah rahasia umum lagi. Oleh masyarakat
sekitar, pangkalan truk seringkali disebut sebagai “sarang maksiat”, beberapa
yang lain bahkan menyebutnya sebagai “sarang penularan AIDS”.
Melihat
segala kondisi yang ada, kiranya penyebutan pangkalan truk sebagai sarang
penularan AIDS itu bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Transaksi seksual
yang dilakukan secara bebas dalam pangkalan truk itu menjadikan penularan AIDS
begitu mudah terjadi. Apalagi,
kesadaran kaum pria
pembeli cinta mengenai bahaya AIDS dan penyakit menular seksual (PMS) lainnya masih relatif
rendah. Sebagai contoh, banyak PSK yang mengaku sudah berusaha meminta agar
pelanggannya menggunakan kondom sebelum melakukan hubungan seksual, namun
ternyata begitu banyak pelanggan yang justru menolak menggunakan kondom itu.
Alasannya bermacam-macam, ada yang mengaku bahwa penggunaan kondom itu akan
mengurangi kenikmatan dalam berhubungan seksual, ada pula yang beralasan bahwa
dirinya sudah membayar, sehingga kontak antarkulit pun sudah selayaknya
terjadi.
Berbagai
macam sosialisasi penggunaan kondom di sekitar pangkalan truk memang sudah
cukup sering digencarkan. Namun begitu, efektivitas sosialisasi itu masih dalam
tataran yang sangat rendah. Beberapa PSK bahkan telah mengakui mengenai fakta
itu. Banyak pelanggan yang enggan mengenakan kondom, sementara pada sisi yang
lain, para PSK itu tidak mempunyai pilihan lain selain menuruti kemauan para
pelanggan itu. Para pelanggan mengancam untuk meninggalkan PSK jika para PSK
itu memaksa pelanggan untuk mengenakan kondom. Para
PSK tidak bisa berbuat banyak. Ia mesti menurut dengan
kemauan pelanggan, jika ia ingin “jasanya” digunakan oleh pelanggan itu. Jika
tidak, pelanggan akan meninggalkan PSK itu dan memilih PSK lain yang “lebih penurut”.
Pekan
Kondom Nasional yang biasa dilakukan oleh DKT Indonesia bersama dengan Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) hendaknya menjadi refleksi tersendiri
terhadap progress penanggulangan AIDS
di Indonesia, tak terkecuali juga di sekitar pangkalan truk itu. Jangan sampai
gegap gempita pelaksanaan Pekan Kondom Nasional itu menjadi sebuah acara
seremonial semata yang meninggalkan tujuan luhurnya dalam upaya mengampanyekan
penggunaan kondom guna mencegah penularan HIV/AIDS di Indonesia yang semakin
marak saja.
Sosialisasi
dan kampanye pencegahan HIV/AIDS itu hendaknya terus dilakukan di kawasan rawan
semacam pangkalan truk itu. Pekan Kondom Nasional mesti dapat menyentuh
pangkalan truk itu sebagai sasaran kampanye. Untuk dapat merealisasikan hal
itu, DKT Indonesia dan KPAN mesti menjalin kerjasama yang intensif dengan Dinas
Kesehatan Pemerintah Daerah setempat hingga tokoh-tokoh masyarakat dan aktivis
terkait.
Pada
satu sisi, pencanangan wajib kondom pada lokalisasi-lokalisasi tertentu pada
dasarnya memang sudah banyak dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Namun begitu,
hasilnya sangat tidak jelas, mengingat hubungan seksual merupakan hubungan
tertutup. Sanksi terhadap pelanggarnya pun tidak dapat ditegakkan.
Kampanye
penggunaan kondom di kawasan pangkalan truk itu tidak boleh hanya menyasar pada
PSK semata, melainkan juga para laki-laki “pengguna
jasa” seks para PSK. Kampanye terhadap PSK pada dasarnya sudah cukup mengena.
Hal ini ditandai dengan semakin tingginya kesadaran dan pengetahuan PSK
mengenai bahaya AIDS. Namun demikian, hal itu tidak akan berarti apa-apa jika
kaum laki-laki pengguna jasa seksual itu masih menyepelekan bahaya AIDS. Para
laki-laki itu lah yang lebih banyak memegang kendali, mereka lah “para pembeli”
yang seringkali diibaratkan oleh para PSK sebagai seorang raja.
Dalam
jangka pendek, kampanye penggunaan kondom itu dapat dilakukan melalui kunjungan
langsung ke kawasan pangkalan truk, sementara guna menjaga kontinuitas kampanye
itu, mesti lah juga dipasang spanduk, selebaran, dan poster-poster mengenai
AIDS dan bahayanya, serta peran kondom dalam mencegah penularan AIDS itu.
Harapannya, adanya media-media informatif itu akan mengena para laki-laki
pembeli cinta itu untuk menyadari mengenai bahaya HIV/AIDS sehingga ia kemudian
tidak enggan lagi untuk menggunakan kondom. Pada sisi yang lain, mesti lah juga
ada ketegasan dan konsensus secara bersama-sama oleh para PSK untuk menolak
pelanggan mereka yang enggan menggunakan kondom.
Pada beberapa
kasus, terindikasi pula bahwa terdapat beberapa PSK yang sudah terinfeksi
HIV/AIDS namun masih beroperasi dan mangkal di beberapa lokalisasi. Mengenai
hal ini, Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah mesti bekerja keras untuk melakukan
pemeriksaan darah secara rutin terhadap para PSK. Jika memang indikasi itu
benar adanya, PSK itu mesti dilarang untuk meneruskan pekerjaannya. Jika masih
saja beroperasi, pada dasarnya para PSK itu dapat dijerat dengan peraturan
perundang-undangan mengenai pencegahan AIDS yang melarang seorang pengidap AIDS
untuk menularkan secara sengaja penyakitnya itu kepada orang lain. Dalam kasus
semacam ini, ketegasan Dinas Kesehatan Pemerintah Daerah menjadi sangat
penting.
Di luar
itu, seorang PSK pun mesti diberikan pemahaman agar
hati-hati dalam memilih pelanggan. Jangan sampai kelak hidupnya
hanya tergadaikan oleh beberapa lembar uang saja dengan melayani pelanggan yang
enggan menggunakan kondom. Bisa jadi pelanggan itu telah mengidap HIV/AIDS,
disadari atau tidak oleh para pelanggan itu, sehingga memungkinkan terjadinya penularan
HIV/AIDS kepada PSK.
Kampanye
penggunaan kondom dalam lokalisasi itu, pada pangkalan-pangkalan truk
khususnya, mesti terus dilakukan secara kontinyu. Upaya ini baru akan menuai
hasil dalam menanggulangi AIDS jika mampu menumbuhkan pengetahuan, pemahaman,
dan kesadaran kepada masyarakat mengenai bahaya AIDS yang pada akhirnya mampu
mencegah terjadinya penyebaran
AIDS itu.
Pekan
Kondom Nasional hendaknya tidak menjadi acara seremonial semata. Ia mesti
menyentuh sisi kesadaran semua pihak, baik pelaku hubungan seksual yang rawan
di pangkalan truk maupun di lokalisasi-lokalisasi lainnya. Upaya penyadaran
penggunaan kondom ini bukan berarti mendukung transaksi seksual berbahaya itu.
Bagaimanapun, menghindari seks bebas merupakan langkah yang paling aman. Kondom
pada dasarnya merupakan sebuah alat kontrasepsi yang kemudian fungsinya
diperluas sebagai alat untuk mencegah penularan AIDS dan PMS lainnya. Kondom
bukan merupakan sebuah media pendukung dilakukannya perilaku seks bebas.
Demikian.
Semoga bermanfaat…
#Penulis adalah warga Kabupaten Batang, Jawa Tengah yang tinggal tak jauh dari pangkalan truk.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar